Halaman

Rabu, 22 Februari 2012

CERPEN TERBAIKKU


“PERPISAHAN BERUJUNG BAHAGIA”


Di siang hari yang terik, nampak seorang kakak beradik sedang duduk di pinggir jalan raya dengan raut wajah yang sangat kelelahan. Satu persatu mereka hitung kepingan uang receh yang mereka dapatkan  dari hasil mengamen tadi pagi. Ya, begitulah suasana kota Jakarta dimana mereka tinggal sekarang. Kakak beradik yang tlah ditinggal mati oleh kedua orangtuanya, diterlantarkan sanak saudaranya itu kini hanya mencoba bertahan hidup dengan bermodalkan suara dan hafalan beberapa lagu di beberapa jalan raya di Jakarta.

Saat itu sang adik, Fany, mengeluh kepada kakaknya, Lia.

“Kak, lapar”

Dengan senyuman penuh kesabaran Lia menjawab,

“Sebentar lagi ya dik, uangnya masih belum cukup untuk membeli makanan”

Sang kakak yang tak tega melihat adiknya kelaparan itu sejenak terdiam melihat adiknya yang kelaparan, kemudian dia berkata,

“Baiklah adikku, kamu tunggu disini dulu ya? Kakak mau ngamen lagi biar kamu bisa makan. Tenang ya sayang, nanti kalau uangnya sudah cukup kakak akan kembali membawakan makanan untukmu.”

Fany hanya mengangguk dan tersenyum, seakan memberikan semangat kepada kakaknya. Lia membalas senyumannya dan mengecup kening adiknya.

Setiap lampu merah menyala, Lia dengan semangat menghampiri kendaraan kendaraan bermotor itu dengan penuh semangat. Walau terbakar sinar matahari, menghirup polusi, namun dia tetap bersikeras menyanyi di setiap mobil dan motor di jalan itu. Namun, sesuatu yang tak di inginkan terjadi. Lia tertangkap razia oleh polisi. Beberapa dari anak-anak jalanan yang ditangkap oleh polisi itu juga teman-teman Lia, sesama pengamen.

Lia pun menangis, meronta-ronta saat polisi itu memaksanya untuk naik ke mobil patroli bersama anak-anak jalanan yang lain. Air matanya makin deras ketika dia teringat dengan adiknya yang dia tinggal dengan kondisi kelaparan di jalanan.

“Jangan bawa saya pak, kasihanilah saya. Saya harus mencari uang untuk adik saya yang sedang kelaparan. Tolong pak, lepaskan saya.”

Teriak Lia pada salah satu polisi yang sedang menarik tangannya untuk segera naik ke mobil patroli itu. Namun polisi itu tak menghiraukan Lia. Dengan deraian air mata Lia pun akhirnya menyerah dan bergabung dengan anak-anak jalanan itu ke dalam mobil.

Di sisi lain, Fany masih menunggu kakaknya di pinggir jalan dimana terakhir kakaknya meninggalkannya. Wajahnya nampak pucat, bibirnya kering dan matanya menciut tiap kali lambungnya terasa perih. Dengan kondisinya yang sangat lemah dia sesekali memanggil-manggil nama kakaknya.

Tak terasa adzan magrib memecah suasana sore hari yang berganti malam. Fany sedih dan gelisah menunggu kakaknya yang sejak tadi siang meninggalkannya. Dia pun beranjak pergi dari tempat itu, mencari kakaknya di tempat dimana dia dan kakaknya biasa mengamen.

Saat Fany menyeberang jalan raya itu, tiba-tiba tanpa sepengetahuan Fany ada mobil dari arah utara yang melaju sangat kencang. Supir mobil itu langsung menginjak rem saat melihat Fany melintas di jalan raya itu. Namun usahanya untuk menghindari Fany gagal, Fany tertabrak dan terlempar sejauh satu meter dari mobil itu.

Supir yang pada saat itu sedang bersama majikannya itu langsung keluar dari mobil untuk segera menolong anak kecil yang dia tabrak itu. Beruntung majikannya adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat baik dan pengertian yang kemudian ikut menolong Fany.

“Pak, cepat ke rumah sakit. Anak malang ini harus segera ditolong.” Kata sang majikan.

Setelah membawa Fany ke rumah sakit dan menunggu beberapa menit di ruang tunggu, dokter akhirnya keluar dari ruang ICU. Ibu itu langsung menanyakan keadaan anak kecil yang dia tolong tadi.

“Dok, bagaimana dengan keadaannya? Ada luka yang serius?” tanyanya tegang.

“Tidak apa-apa bu, hanya luka kecil di kepalanya.” Dokter mencoba menenangkannya.

“Bolehkah saya menjenguknya dok?” tambah ibu itu.

“Ya, silahkan bu.” Sahut dokter.

Ketika ibu tersebut masuk ke dalam, ia terpaku melihat kondisi anak kecil yang tampak lemah dengan perban di kepalanya. Tak terasa air mata jatuh dan membasahi pipinya. Dia mendekati anak itu dengan perlahan.

“Kamu tidak apa-apa nak? Ada yang sakit?” Tanyanya cemas.

Fany yang masih lemah dan ketakutan atas kejadian yang dia alami tadi pun hanya menjawab dengan gelengan kepala. Ibu itu tersenyum lega dan mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang.

“Oiya, siapa namamu nak? Kamu tinggal dimana? Dengan siapa?” Tanya ibu itu kepada Fany.

Lalu dengan rasa sedih Fany menjawab,

“Namaku Fany, tante. Aku tak punya tempat tinggal dan aku hidup dengan kakakku, tapi sejak tadi siang aku tak tau dimana dia.”

Mendengar penjelasan dari Fany, ibu itu menaruh rasa iba pada Fany. Kembali dia belai Fany dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang. Air mata kembali menetes.

“Tante kenapa? Tante sakit?” Tanya Fany.

“Tidak nak. Oiya, jangan panggil aku tante, panggil saja aku Ibu Yuni.” Sahut ibu itu sembari menghapus air matanya.

Tiba-tiba suara aneh terdengar dari perut Fany. Ibu Yuni dan Fany tersenyum seakan tau arti suara itu.

“Kamu lapar nak? Ibu tinggal sebentar ya? Ibu belikan makanan untukmu.” Kata Ibu Yuni dengan halus.

“Aku,,,a,a,a,akuuu,,,,,”  jawab Fany sambil berfikir, benarkah masih ada orang sebaik Ibu Yuni di dunia yang kejam ini?

“Ya sudah, ibu bawakan makanan untukmu. Kamu istirahat dulu ya nak?” tambah Ibu Yuni.

Fany mengangguk dan tersenyum “andaikan dia adalah ibuku” gumamnya dalam hati.

Ibu Yuni pun tersenyum sembari membelai rambutnya “andai kau adalah anakku” gumam Ibu Yuni.

Setelah ibu Yuni kembali dengan  membawa makanan untuk Fany, Ibu Yuni melihat Fany terlihat sedang memikirkan sesuatu.

“Kenapa nak? Sedang memikirkan apa? Kok diem?” Tanya Ibu Yuni bingung.

“Aku teringat kakakku Bu. Aku kangen kakak” , jawab Fany.

“Tenang nak, kakakmu pasti akan ketemu. Ibu akan membantumu mencari kakakmu, tapi dengan satu syarat kamu harus sembuh dulu.” Kata Ibu Yuni.

Fany kembali tersenyum dan mengusap air matanya. Suapan-suapan dari Bu Yuni satu persatu ditelannya. Sesekali mereka berdua bercanda layaknya ibu dan anak. Mereka berdua nampak sangat bahagia.

Setelah keluar dari rumah sakit, Fany tinggal dengan Ibu Yuni dan suaminya, Pak Aris di rumah mereka. Sejak 3 tahun pernikahannya, mereka belum dikaruniai seorang anak dan dengan adanya Fany mereka merasa telah memiliki anak.

Sementara itu, Lia sedang murung di dalam penampungan selama lebih dari seminggu. Hatinya sangat gelisah memikirkan adiknya yang dia tinggal di jalanan. Sesekali dia memohon dan menangis saat ada polisi yang lalu lalang disana. Namun apalah daya, tak ada satu pun yang menghiraukannya.

Ibu Yuni dan Pak Aris pun mencoba mencari Lia dengan petunjuk-petunjuk dari Fany. Dengan mereka mencari Lia ke jalanan tempat Lia dan Fany biasa mengamen, namun  tak ada satupun yang mirip dengan cirri-ciri yang di ceritakan Fany. Satu persatu anak-anak jalanan itu mereka tanyai, sampai ada anak kecil yang mendengar percakapan ibu Yuni dan pak Aris dan menjawab,

“Aku tau dimana Lia om, tante. Dia di kantor polisi, seminggu yang lalu dia tertangkap razia”,

Bergegas Ibu Yuni dan Pak Aris ke tempat dimana Lia ditahan.

“Pak permisi, adakah anak kecil berumur 9 tahun disini? Dia tertangkap razia sekitar satu minggu yang lalu?” Tanya Pak Aris pada salah satu polisi.

“Waduh, banyak pak, sebentar, saya cari dulu.” Kata pak polisi.

Beberapa menit kemudian pak polisi itu kembali dengan seorang anak perempuan yang nampak kebingungan.

“Pak, kenapa saya dikeluarkan? Saya bebas?” Lia bertanya pada polisi itu.

“Ini Lia? Kakaknya Fany kan?” Tanya ibu Yuni terburu-buru.

“Ya bu, kenapa? Ada apa dengan adik saya? Anda siapa?” Tanya Lia bingung.

“Ikutlah dengan kami nak, adikmu ada di rumah kami.” Sahut ibu Yuni.

Setelah meminta izin kepada polisi itu, mereka langsung membawa Lia ke rumah untuk bertemu dengan Fany.

Sesampainya di rumah, Lia langsung berlari ke arah Fany yang sedang duduk di teras rumah.

“Fany..” , sahut Lia.

“kakak..” , jawab Fany.

Mereka berdua nampak sangat bahagia dengan pertemuan itu. Air mata membasahi pipi, menandakan kerinduan yang mendalam diantara mereka. Kakak-beradik yang tlah terpisah selama seminggu itu. Ibu Yuni dan Pak Aris juga ikut bahagia melihat mereka tlah kembali bersama.

Setelah mereka menghilangkan semua kerinduannya, Lia berkata pada adiknya,

“Dik, ayo kita pergi dari sini. Tempat kita bukan disini, teman-teman sedang menunggu kita di jalanan. Jangan lupa ucapkan terima kasih pada ibu dan bapak yang tlah menolong kita.”

Fany sejenak muram mendengar perkataan kakaknya, seakan berat meninggalkan tempat itu dan orang-orang yang tlah merawatnya sejak dia sakit. Ibu Yuni dan Pak Aris juga nampak sedih. Kemudian mereka mendekati kakak beradik itu.

“Nak, jangan pergi, kasihanilah kami. Kami sudah menganggap kalian sebagai anak kami sendiri. Kami sayang kalian nak.” Kata Ibu Yuni dengan uraian air mata.

Lia sejenak terdiam, sesekali melihat ke arah adiknya yang berharap kakaknya menyetujui permintaan mereka. Dan akhirnya . . .

“Baiklah bu, pak, aku dan adik akan tetap tinggal disini. Dengan ibu dan bapak.”

Ibu Yuni dan Pak Aris bahagia mendengarnya dan memeluk Lia dan Fany dengan penuh kasih sayang.

“Terima kasih nak, sekarang kau adalah anak ibu dan bapak.” Kata Pak Aris.

Akhirnya Lia dan Fany pun tinggal di rumah pak Aris dan menjadi anak angkat Bu mereka.

* TAMAT *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar