“PERPISAHAN BERUJUNG BAHAGIA”
Di siang hari yang terik, nampak seorang
kakak beradik sedang duduk di pinggir jalan raya dengan raut wajah yang sangat
kelelahan. Satu persatu mereka hitung kepingan uang receh yang mereka
dapatkan dari hasil mengamen tadi pagi.
Ya, begitulah suasana kota Jakarta dimana mereka tinggal sekarang. Kakak
beradik yang tlah ditinggal mati oleh kedua orangtuanya, diterlantarkan sanak
saudaranya itu kini hanya mencoba bertahan hidup dengan bermodalkan suara dan
hafalan beberapa lagu di beberapa jalan raya di Jakarta.
Saat
itu sang adik, Fany, mengeluh kepada kakaknya, Lia.
“Kak,
lapar”
Dengan
senyuman penuh kesabaran Lia menjawab,
“Sebentar
lagi ya dik, uangnya masih belum cukup untuk membeli makanan”
Sang
kakak yang tak tega melihat adiknya kelaparan itu sejenak terdiam melihat
adiknya yang kelaparan, kemudian dia berkata,
“Baiklah adikku, kamu tunggu disini dulu
ya? Kakak mau ngamen lagi biar kamu bisa makan. Tenang ya sayang, nanti kalau
uangnya sudah cukup kakak akan kembali membawakan makanan untukmu.”
Fany hanya mengangguk dan tersenyum,
seakan memberikan semangat kepada kakaknya. Lia membalas senyumannya dan
mengecup kening adiknya.
Setiap lampu merah menyala, Lia dengan
semangat menghampiri kendaraan kendaraan bermotor itu dengan penuh semangat.
Walau terbakar sinar matahari, menghirup polusi, namun dia tetap bersikeras
menyanyi di setiap mobil dan motor di jalan itu. Namun, sesuatu yang tak di
inginkan terjadi. Lia tertangkap razia oleh polisi. Beberapa dari anak-anak
jalanan yang ditangkap oleh polisi itu juga teman-teman Lia, sesama pengamen.
Lia pun menangis, meronta-ronta saat
polisi itu memaksanya untuk naik ke mobil patroli bersama anak-anak jalanan
yang lain. Air matanya makin deras ketika dia teringat dengan adiknya yang dia
tinggal dengan kondisi kelaparan di jalanan.
“Jangan
bawa saya pak, kasihanilah saya. Saya harus mencari uang untuk adik saya yang
sedang kelaparan. Tolong pak, lepaskan saya.”
Teriak Lia pada salah satu polisi yang sedang
menarik tangannya untuk segera naik ke mobil patroli itu. Namun polisi itu tak
menghiraukan Lia. Dengan deraian air mata Lia pun akhirnya menyerah dan
bergabung dengan anak-anak jalanan itu ke dalam mobil.
Di sisi lain, Fany masih menunggu
kakaknya di pinggir jalan dimana terakhir kakaknya meninggalkannya. Wajahnya nampak
pucat, bibirnya kering dan matanya menciut tiap kali lambungnya terasa perih.
Dengan kondisinya yang sangat lemah dia sesekali memanggil-manggil nama
kakaknya.
Tak terasa adzan magrib memecah suasana
sore hari yang berganti malam. Fany sedih dan gelisah menunggu kakaknya yang
sejak tadi siang meninggalkannya. Dia pun beranjak pergi dari tempat itu,
mencari kakaknya di tempat dimana dia dan kakaknya biasa mengamen.
Saat Fany menyeberang jalan raya itu,
tiba-tiba tanpa sepengetahuan Fany ada mobil dari arah utara yang melaju sangat
kencang. Supir mobil itu langsung menginjak rem saat melihat Fany melintas di
jalan raya itu. Namun usahanya untuk menghindari Fany gagal, Fany tertabrak dan
terlempar sejauh satu meter dari mobil itu.
Supir yang pada saat itu sedang bersama
majikannya itu langsung keluar dari mobil untuk segera menolong anak kecil yang
dia tabrak itu. Beruntung majikannya adalah seorang ibu rumah tangga yang
sangat baik dan pengertian yang kemudian ikut menolong Fany.
“Pak,
cepat ke rumah sakit. Anak malang ini harus segera ditolong.” Kata sang
majikan.
Setelah membawa Fany ke rumah sakit dan
menunggu beberapa menit di ruang tunggu, dokter akhirnya keluar dari ruang ICU.
Ibu itu langsung menanyakan keadaan anak kecil yang dia tolong tadi.
“Dok,
bagaimana dengan keadaannya? Ada luka yang serius?” tanyanya tegang.
“Tidak
apa-apa bu, hanya luka kecil di kepalanya.” Dokter mencoba menenangkannya.
“Bolehkah
saya menjenguknya dok?” tambah ibu itu.
“Ya,
silahkan bu.” Sahut dokter.
Ketika ibu tersebut masuk ke dalam, ia
terpaku melihat kondisi anak kecil yang tampak lemah dengan perban di kepalanya.
Tak terasa air mata jatuh dan membasahi pipinya. Dia mendekati anak itu dengan
perlahan.
“Kamu
tidak apa-apa nak? Ada yang sakit?” Tanyanya cemas.
Fany yang masih lemah dan ketakutan atas
kejadian yang dia alami tadi pun hanya menjawab dengan gelengan kepala. Ibu itu
tersenyum lega dan mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang.
“Oiya,
siapa namamu nak? Kamu tinggal dimana? Dengan siapa?” Tanya ibu itu kepada
Fany.
Lalu
dengan rasa sedih Fany menjawab,
“Namaku
Fany, tante. Aku tak punya tempat tinggal dan aku hidup dengan kakakku, tapi
sejak tadi siang aku tak tau dimana dia.”
Mendengar
penjelasan dari Fany, ibu itu menaruh rasa iba pada Fany. Kembali dia belai
Fany dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang. Air mata kembali menetes.
“Tante
kenapa? Tante sakit?” Tanya Fany.
“Tidak
nak. Oiya, jangan panggil aku tante, panggil saja aku Ibu Yuni.” Sahut ibu itu
sembari menghapus air matanya.
Tiba-tiba
suara aneh terdengar dari perut Fany. Ibu Yuni dan Fany tersenyum seakan tau
arti suara itu.
“Kamu
lapar nak? Ibu tinggal sebentar ya? Ibu belikan makanan untukmu.” Kata Ibu Yuni
dengan halus.
“Aku,,,a,a,a,akuuu,,,,,”
jawab Fany sambil berfikir, benarkah
masih ada orang sebaik Ibu Yuni di dunia yang kejam ini?
“Ya
sudah, ibu bawakan makanan untukmu. Kamu istirahat dulu ya nak?” tambah Ibu
Yuni.
Fany
mengangguk dan tersenyum “andaikan dia adalah ibuku” gumamnya dalam hati.
Ibu
Yuni pun tersenyum sembari membelai rambutnya “andai kau adalah anakku” gumam Ibu
Yuni.
Setelah
ibu Yuni kembali dengan membawa makanan
untuk Fany, Ibu Yuni melihat Fany terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Kenapa
nak? Sedang memikirkan apa? Kok diem?” Tanya Ibu Yuni bingung.
“Aku
teringat kakakku Bu. Aku kangen kakak” , jawab Fany.
“Tenang
nak, kakakmu pasti akan ketemu. Ibu akan membantumu mencari kakakmu, tapi
dengan satu syarat kamu harus sembuh dulu.” Kata Ibu Yuni.
Fany kembali tersenyum dan mengusap air
matanya. Suapan-suapan dari Bu Yuni satu persatu ditelannya. Sesekali mereka
berdua bercanda layaknya ibu dan anak. Mereka berdua nampak sangat bahagia.
Setelah keluar dari rumah sakit, Fany
tinggal dengan Ibu Yuni dan suaminya, Pak Aris di rumah mereka. Sejak 3 tahun pernikahannya,
mereka belum dikaruniai seorang anak dan dengan adanya Fany mereka merasa telah
memiliki anak.
Sementara itu, Lia sedang murung di
dalam penampungan selama lebih dari seminggu. Hatinya sangat gelisah memikirkan
adiknya yang dia tinggal di jalanan. Sesekali dia memohon dan menangis saat ada
polisi yang lalu lalang disana. Namun apalah daya, tak ada satu pun yang
menghiraukannya.
Ibu Yuni dan Pak Aris pun mencoba mencari
Lia dengan petunjuk-petunjuk dari Fany. Dengan mereka mencari Lia ke jalanan
tempat Lia dan Fany biasa mengamen, namun tak ada satupun yang mirip dengan cirri-ciri
yang di ceritakan Fany. Satu persatu anak-anak jalanan itu mereka tanyai,
sampai ada anak kecil yang mendengar percakapan ibu Yuni dan pak Aris dan
menjawab,
“Aku
tau dimana Lia om, tante. Dia di kantor polisi, seminggu yang lalu dia tertangkap
razia”,
Bergegas
Ibu Yuni dan Pak Aris ke tempat dimana Lia ditahan.
“Pak
permisi, adakah anak kecil berumur 9 tahun disini? Dia tertangkap razia sekitar
satu minggu yang lalu?” Tanya Pak Aris pada salah satu polisi.
“Waduh,
banyak pak, sebentar, saya cari dulu.” Kata pak polisi.
Beberapa
menit kemudian pak polisi itu kembali dengan seorang anak perempuan yang nampak
kebingungan.
“Pak,
kenapa saya dikeluarkan? Saya bebas?” Lia bertanya pada polisi itu.
“Ini
Lia? Kakaknya Fany kan?” Tanya ibu Yuni terburu-buru.
“Ya
bu, kenapa? Ada apa dengan adik saya? Anda siapa?” Tanya Lia bingung.
“Ikutlah
dengan kami nak, adikmu ada di rumah kami.” Sahut ibu Yuni.
Setelah
meminta izin kepada polisi itu, mereka langsung membawa Lia ke rumah untuk
bertemu dengan Fany.
Sesampainya
di rumah, Lia langsung berlari ke arah Fany yang sedang duduk di teras rumah.
“Fany..”
, sahut Lia.
“kakak..”
, jawab Fany.
Mereka berdua nampak sangat bahagia
dengan pertemuan itu. Air mata membasahi pipi, menandakan kerinduan yang mendalam
diantara mereka. Kakak-beradik yang tlah terpisah selama seminggu itu. Ibu Yuni
dan Pak Aris juga ikut bahagia melihat mereka tlah kembali bersama.
Setelah
mereka menghilangkan semua kerinduannya, Lia berkata pada adiknya,
“Dik,
ayo kita pergi dari sini. Tempat kita bukan disini, teman-teman sedang menunggu
kita di jalanan. Jangan lupa ucapkan terima kasih pada ibu dan bapak yang tlah
menolong kita.”
Fany sejenak muram mendengar perkataan
kakaknya, seakan berat meninggalkan tempat itu dan orang-orang yang tlah
merawatnya sejak dia sakit. Ibu Yuni dan Pak Aris juga nampak sedih. Kemudian
mereka mendekati kakak beradik itu.
“Nak, jangan pergi, kasihanilah kami.
Kami sudah menganggap kalian sebagai anak kami sendiri. Kami sayang kalian
nak.” Kata Ibu Yuni dengan uraian air mata.
Lia
sejenak terdiam, sesekali melihat ke arah adiknya yang berharap kakaknya
menyetujui permintaan mereka. Dan akhirnya . . .
“Baiklah
bu, pak, aku dan adik akan tetap tinggal disini. Dengan ibu dan bapak.”
Ibu
Yuni dan Pak Aris bahagia mendengarnya dan memeluk Lia dan Fany dengan penuh
kasih sayang.
“Terima
kasih nak, sekarang kau adalah anak ibu dan bapak.” Kata Pak Aris.
Akhirnya
Lia dan Fany pun tinggal di rumah pak Aris dan menjadi anak angkat Bu mereka.
* TAMAT *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar